Selamat datang ..

Mari kita saling berbagi informasi \('3')/

Laman

Kamis, 03 Mei 2012

Aspek Tulisan Halal dari segi Hukum Ekonomi


Bab 1 PENDAHULUAN

1.1   Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang mayoritas (± 88%) penduduknya beragama Islam. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah diharapkan dapat memberikan kepastian dan jaminan kehalalan terhadap setiap produksi pangan segar asal hewan khususnya karkas, daging dan jeroan yang dimasukkan dan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Seiring dengan perkembangan globalisasi ekonomi yang melanda dunia, posisi konsumen semakin hari semakin sulit. Dalam artian bahwa produk-produk yang ditawarkan dan disodorkan kepada konsumen semakin beragam, baik dari segi harga, mutu atau kualitas dari barang-barang tersebut. oleh karena itu, konsumen harus berhati-hati dalam menggunakan suatu produk karena akan berdampak buruk terhadap kesehatan.

Bab 2 PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Halal
                Menurut pandangan pertama dari segi Hukum kata HALAL biasanya dihadapkan dengan kata haram. Halal adalah sesuatu yang diperbolehkan dan tidak mengundang dosa. Menurut pandangan yang kedua dari segi bahasa akar kata halal yang kemudian membentuk berbagai bentuk kata, mempunyai arti beraneka ragam, sesuai dengan bentuk dan rangkaian kata berikutnya. makna-makna yang diciptakan oleh bentukan-bentukan tersebut, antara lain berarti “menyelesaikan problem” , “meluruskan benang kusut” , dan “mencairka yang beku”.
                Jika demikian, Hala merupakan suatu bentuk aktivitas yang mengantarkan para pelakunya untuk meluruskan benang kusut, menghangatkan hubungan yang tadinya membeku sehingga cair kembali, melapaskan ikatan yanga membelenggu, serta menyelesaikan kesulitan dan problem yang menghalang terjalinnya keharmonisan hubungan.

2.2  Dasar Hukum

1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3482);

2. Undang-undang Nomor 7 tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Eshtablishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia).

3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3656);

4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3821);

5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5015);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3253);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3867);

8. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2000 tentang Karantina Hewan (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 161, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4002);

9. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Giji Pangan (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4424);

10. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 20 Tahun 2009 tentang Pemasukan dan Pengawasan Peredaran Karkas, Daging, dan/atau Jeroan dari Luar Negeri;

2.3. Ruang Lingkup

Ruang Lingkup Pedoman Pengawasan Kehalalan ini adalah: 

• Objek Pengawasan :

• Persyaratan Kehalalan :

• Mekanisme Pengawasan :

• Tata Cara Pengawasan dan Tindakan Koreksi:

2.4. Definisi dan singkatan

Dalam Pedoman ini yang dimaksud dengan:

1. Analisis haram dan penetapan pengendalian titik kritis adalah gambaran suatu proses analisis haram dan penetapan pengendalian titik kritis yang dilakukan oleh suatu tim pada setiap tahapan proses sampai ke tangan konsumen, dengan mempertimbangkan kehalalan karkas, daging dan/atau jeroan, cara pencegahan masuk dan tercemarnya karkas, daging dan/atau jeroan dengan bahan atau unsur haram pada proses produksi sampai dengan pengemasan serta transportasinya. 

2. Proses produksi halal adalah rangkaian kegiatan memproduksi karkas, daging dan/atau jeroan pada suatu Rumah Potong Hewan (RPH) atau Perusahaan Pemrosesan dan Pengolahan yang menjamin kepastian kehalalannya sampai ke tangan konsumen.

3. Sistem Jaminan Halal yang selanjutnya disebut SJH adalah kepastian hukum bahwa karkas, daging dan/atau jeroan tersebut halal untuk diolah sebagai makanan, dipakai atau digunakan sesuai dengan syariah Islam yang dibuktikan dengan sertifikat halal dan dinyatakan dengan label/logo halal pada kemasan. 

4. Kemasan adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi dan/atau membungkus karkas, daging, dan/atau jeroan, yang bersentuhan langsung maupun tidak langsung. 

5. Alat angkut adalah alat angkutan dan sarana yang dipergunakan untuk mengangkut yang secara langsung berhubungan dengan media pembawa atau secara tidak langsung melalui kemasan media pembawa.

6. Tanda-tanda kemasan dan alat angkut adalah setiap keterangan mengenai karkas, daging, dan/atau jeroan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya atau bentuk lainnya yang disertakan pada karkas, daging, dan/atau jeroan yang dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada, dituliskan pada atau merupakan bagian dari kemasan dan alat angkut.

7. Tanda/Logo Halal adalah tanda khusus dalam bentuk tulisan atau gambar tertentu pada kemasan produk, pada bagian tertentu atau tempat tertentu dengan atau tanpa mencantumkan nomor sertifikat halal yang menjadi bukti sah kehalalan karkas, daging dan/atau jeroan. 

8. Sertifikat Halal adalah keterangan tertulis yang memberikan kepastian kehalalan suatu produk dari suatu lembaga sertifikasi halal yang telah diakui oleh Majelis Ulama Indonesia.

9. Lembaga Sertifikasi Halal adalah lembaga yang diberikan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan dan pengkajian aspek kehalalan karkas, daging dan/atau jeroan.

10. Majelis Ulama Indonesia yang selanjutnya disebut MUI adalah wadah musyawarah ulama, zuama, dan cendikiawan muslim yang berfungsi untuk menetapkan fatwa tentang kehalalan karkas, daging dan/atau jeroan menurut syariah Islam.

11. Pelaku usaha adalah setiap orang atau badan usaha yang berbadan hukum atau yang tidak berbadan hukum yang menyelenggarakan kegiatan produksi, impor, penjualan, penyimpanan, pengemasan, atau distribusi dan pengangkutan terhadap karkas, daging dan/atau jeroan. 

12. Negara asal pemasukan karkas, daging, dan/atau jeroan, yang selanjutnya disebut negara asal adalah suatu negara yang mengeluarkan karkas, daging, dan/atau jeroan ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia. 

13. Karkas ruminansia adalah bagian dari ternak ruminansia yang didapatkan dengan cara disembelih secara halal dan benar, dikuliti, dikeluarkan darahnya, dikeluarkan jeroan, dipisahkan kepala, kaki mulai dari tarsus/karpus ke bawah, organ reproduksi dan ambing, ekor serta lemak yang berlebih, kecuali yang telah diawetkan dengan cara lain melalui pendinginan yang telah ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI), sehingga lazim dan layak dikonsumsi oleh manusia. 

14. Karkas unggas adalah bagian dari ternak unggas yang telah disembelih secara halal, dicabuti bulunya, dikeluarkan jeroan dan lemak abdominalnya, dipotong kepala dan leher serta kedua kaki atau cekernya.

15. Daging adalah bagian dari karkas yang didapatkan dari ternak yang disembelih secara halal (kecuali babi) dan benar serta lazim, layak dan aman dikonsumsi manusia, yang terdiri dari potongan daging bertulang atau daging tanpa tulang lainnya, kecuali yang telah diawetkan dengan cara lain daripada pendinginan, termasuk daging variasi dan daging olahan. 

16. Jeroan (edible offal) adalah bagian dari dalam tubuh hewan yang berasal dari ternak ruminansia yang disembelih secara halal dan benar serta dapat, layak, dan aman dikonsumsi oleh manusia, kecuali yang telah diawetkan dengan cara lain daripada pendinginan. 

17. Rekomendasi pemasukan adalah persyaratan-persyaratan teknis yang direkomendasikan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk kepada perorangan dan badan hukum sebagai bahan pertimbangan teknis dalam pemasukan karkas, daging dan/atau jeroan dari luar negeri ke dalam wilayah negara Republik Indonesia.

18. Persetujuan Pemasukan adalah keterangan tertulis yang diberikan oleh Menteri lain atau pejabat yang ditunjuk kepada perorangan atau badan hukum untuk dapat melakukan pemasukan karkas, daging, dan/atau jeroan dari luar negeri ke dalam wilayah negara Republik Indonesia. 

19. Tempat Pemasukan adalah pelabuhan laut, pelabuhan sungai dan danau, pelabuhan penyeberangan, bandar udara, kantor pos, pos perbatasan dengan negara lain, dan tempat-tempat lain yang ditetapkan sebagai tempat untuk memasukkan media pembawa hama penyakit hewan karantina dan bahan berbahaya lainnya. 

20. Pengawasan kehalalan adalah upaya untuk memeriksa dan memastikan pemenuhan persyaratan teknis tentang sitem jaminan kehalalan bagi karkas, daging dan/atau jeroan dari luar negeri yang diperuntukkan untuk konsumsi manusia di wilayah negara Republik Indonesia.

21. Tindakan Koreksi adalah kegiatan sebagai upaya pencegahan pemasukan dan peredaran produk pangan segar asal hewan yang mengandung bahan berbahaya dan dapat mengganggu ketentraman bathin masyarakat ke dalam wilayah Republik Indonesia.

Bab 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan
                pemerintah perlu menerapkan aturan-aturan yang dapat menjamin kehalalan produk. sehingga masyarakat mendapat kepastian dan jaminan kehalalan terhadap setiap produk khususnya karkas, daging, dll yang dikonsumsi oleh masyarakat.

SUMBER : http://karantina.deptan.go.id/inkehati/index.php?link=hayat1
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/4909/1/09E01994.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar