Selamat datang ..

Mari kita saling berbagi informasi \('3')/

Laman

Minggu, 29 April 2012

Pengertian konsumen Menurut UU perlindungan konsumen.


Menurut pengertian Pasal 1 angka 2 UU PK, “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”
Anda tentu memahami bahwa tidak semua barang setelah melalui proses produksi akan langsung sampai ke tangan pengguna. Terjadi beberapa kali pengalihan agar suatu barang dapat tiba di tangan konsumen. Biasanya jalur yang dilalui oleh suatu barang adalah:
Produsen – Distributor – Agen – Pengecer – Pengguna
Lebih lanjut, di ilmu ekonomi ada dua jenis konumen, yakni konsumen antara dan konsumen akhir. Konsumen antara adalah distributor, agen dan pengecer. Mereka membeli barang bukan untuk dipakai, melainkan untuk diperdagangkan Sedangkan pengguna barang adalah konsumen akhir.
Yang dimaksud di dalam UU PK sebagai konsumen adalah konsumen akhir. Karena konsumen akhir memperoleh barang dan/atau jasa bukan untuk dijual kembali, melainkan untuk digunakan, baik bagi kepentingan dirinya sendiri, keluarga, orang lain dan makhluk hidup lain.
Dan Anda tentu mengetahui bahwa ada dua cara untuk memperoleh barang, yakni:
§  Membeli. Bagi orang yang memperoleh suatu barang dengan cara membeli, tentu ia terlibat dengan suatu perjanjian dengan pelaku usaha, dan konsumen memperoleh perlindungan hukum melalui perjanjian tersebut.
§  Cara lain selain membeli, yakni hadiah, hibah dan warisan. Untuk cara yang kedua ini, konsumen tidak terlibat dalam suatu hubungan kontraktual dengan pelaku usaha. Sehingga konsumen tidak mendapatkan perlindungan hukum dari suatu perjanjian. Untuk itu diperlukan perlindungan dari negara dalam bentuk peraturan yang melindungi keberadaan konsumen, dalam hal ini UU PK.
Lalu muncul pertanyaan, bagaimana bila saya membeli barang, kemudian saya menghadiahkannya kepada teman saya. Siapakah yang disebut konsumen? Menurut saya yang patut untuk disebut sebagai konsumen hanyalah penerima hadiah. Sedangkan pemberi hadiah bukan konsumen menurut pengertian Pasal 1 angka 2 UU PK. Pemberi hadiah dapat dikatakan sebagai konsumen perantara.
Lalu mengapa di ketentuan Pasal 1 angka 2 UU PK disebutkan “… baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,, orang lain, maupun makhluk hidup lain…”? Ketentuan ini dimaksudkan bila Anda menggunakan suatu barang dan/atau jasa dan bukan hanya Anda yang merasakan manfaatnya, melainkan juga keluarga Anda, orang lain, dan makhluk hidup lain. Contohnya bila Anda membeli sebuah AC untuk dipasang di ruang tamu rumah Anda. Tentu bukan hanya Anda yang merasakan hawa sejuk dari AC tersebut. Istri/suami, anak, tamu dan hewan peliharaan Anda tentu ikut merasakan kesejukan AC tersebut
Maka dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat konsumen menurut UU PK adalah:
§  Pemakai barang dan/atau jasa, baik memperolehnya melalui pembelian maupun secara cuma-cuma
§  Pemakaian barang dan/atau jasa untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain dan makhluk hidup lain.
§  Tidak untuk diperdagangkan

sumber : http://www.tunardy.com/pengertian-konsumen-menurut-uu-pk/

Monopoli dan Persaingan Usaha tidak sehat.


Praktek monopoli berbeda dengan perbuatan curang, dan keduanya dilakukan oleh para pelaku usaha di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Hukumonline memuat berita berjudul "Akomodasi Asing, Proses Legislasi Abaikan Kepentingan Bangsa Sendiri" (18 Juni 2003). Antara lain isi berita tersebut adalah menurut Romli Atmasasmita, Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), "dalam riwayat perundang-undangan di Indonesia, soal monopoli tidak pernah diatur, dan yang diatur adalah mengenai perbuatan curang".
Dari pernyataan tersebut, secara implisit dapat disimpulkan bahwa di Indonesia tidak ada perbuatan monopoli yang ada adalah perbuatan curang. Menurut Romli lagi, "monopoli berasal dari AS, dari common law sistem. Di sini diterapkan oleh KPPU, ternyata tidak jalan, malah ditertawakan," cetus Romli.
Menurut penulis, kalaupun masih ada yang menertawakan itu adalah hal yang wajar. Dikatakan wajar, karena orang yang bersangkutan masih belum memahami substansi UU No. 5/1999 tersebut secara benar. Memang, UU Antimonopoli berasal dari Amerika Serikat.
Namun, praktek monopoli secara alamiah dilakukan oleh para pelaku usaha di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Tulisan ini akan menjelaskan perbedaan antara monopoli dengan perbuatan curang. Dari penjelasan yang akan dipaparkan, akan dapat dilihat bahwa perbuatan monopoli dan perbuatan curang, keduanya ada di Indonesia.
Monopoli
Di dalam pasal 1 angka 1 UU Antimonopoli, monopoli didefiniskan "suatu penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha". Dapat diartikan bahwa monopoli ada jika satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai suatu produksi atau pemasaran barang atau penggunaan jasa tertentu. Dengan kata lain, monopoli ada jika hanya ada satu pelaku usaha yang memproduksi atau menjual suatu barang tertentu pada pasar yang bersangkutan.
Monopoli sebenarnya tidak dilarang sepanjang hal itu atas hasil usaha pelaku yang bersangkutan secara fair. Misalnya jika suatu pelaku usaha A menghasilkan (memproduksi) suatu produk baru di pasar, otomatis pelaku usaha tersebut sebagai monopolis. Yang dilarang oleh UU Antimonopoli adalah praktek monopoli yang mengakibatkan persaingan menjadi tidak sehat pada pasar yang bersangkutan.
Misalnya, pelaku usaha B ingin memproduksi barang seperti yang diproduksi pelaku usaha A, maka pelaku usaha A tidak boleh melakukan hambatan (entry barrier) supaya pelaku usaha B tidak dapat memproduksi barang yang sama tersebut. Selain itu, pelaku usaha A ada kemungkinan bisa melakukan hambatan masuk pasar, seperti jika pelaku usaha A mematenkan produk temuannya kepada dirjen paten dan pelaku usaha A mempunyai hak monopoli (biasanya) selama 20 tahun. Dan setelah itu, setiap orang boleh memproduksi barang yang sama. Itu pun harus mendapat lisensi dari pemegang hak paten tersebut.
Dari penjelasan singkat tersebut, kita sudah berbicara masalah hubungan antara pelaku usaha yang satu dengan pelaku usaha yang lain pada pasar yang bersangkutan. Hubungan yang normal di antara pelaku usaha, berperilaku secara wajar tidak melanggar ketentuan undang-undang yang berlaku, maka terjadilah apa yang kita sebut dengan persaingan usaha yang sehat. Memang, definisi persaingan usaha yang sehat belum ada secara mutlak.
Di antara para ahli hukum persaingan, juga tidak ada kesepakatan pendapat mengenai definisi persaingan usaha yang sehat. Paraahli hukum persaingan mempunyai persepsi masing-masing jika memberikan definisi hukum persaingan yang sehat. Tetapi jika terjadi hubungan yang tidak wajar antara pelaku usaha yang satu dengan pelaku usaha lain melalui perilaku usahanya, dan hal ini menjadikan pasar menjadi terdistorsi, maka Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) harus memulihkan pasar yang terdistorsi tersebut menjadi sehat.
Pasar yang terdistorsi tersebut adalah suatu persaingan usaha tidak sehat. Oleh karena itu, di pasal 1 angka 6 dalam UU Antimonopoli didefinisikan persaingan usaha tidak sehat. Menurut pasal 1 angka 6 tersebut, persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antarpelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
Dari ketentuan pasal 1 angka 6 tersebut, dapat kita simpulkan bahwa di dalam pasal 1 angka 6 diatur secara bersamaan masalah persaingan usaha tidak sehat yang dilakukan secara tidak jujur (curang) dan melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. Sementara di dalam UU Antimonopoli itu sendiri tidak mengatur masalah persaingan usaha yang tidak secara tidak jujur (curang). Dengan demikian, kita akan membahas perbedaan antara persaingan usaha yang tidak sehat yang dilakukan secara tidak jujur (curang) dengan melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
Perbuatan curang
Perbuatan tidak jujur (curang) adalah suatu tindakan penipuan subjektif yang dapat dilakukan oleh setiap pelaku usaha dalam bentuk apa saja, mungkin dalam proses produksi suatu barang atau bentuk yang lain. Misalnya, dalam proses produksi suatu makanan disebutkan pada informasi komposisi makanan tersebut tertera tanpa bahan pengawet atau tanpa zat pewarna ternyata memakai bahan pengawet dan zat pewarna.
Contoh lain pelaku usaha retail tidak memberikan informasi yang jujur dalam hal pemotongan harga. Pelaku usaha tersebut membuat iklan super hemat dengan mengganti label harga barang-barang tertentu dengan label yang baru. Misalnya pada label dua liter minyak Bimoli yang sebetulnya harganya Rp8.750 ditulis Rp9.500 (seolah-olah harga lama), dicoret, dan ditambahkan "harga baru" Rp8.750 untuk memberi kesan seolah-olah ada potongan harga Rp750 dari harga lama. Iklan semacam ini dibuat untuk mengecoh dan menarik konsumen untuk membeli minyak tersebut.
Iklan tersebut dapat menarik perhatian konsumen karena adanya potongan harga, yang sebenarnya tidak ada sama sekali. Atau, secara tertulis ada iklan potongan harga sebesar Rp750. Tetapi setelah dibayar di kasir, yang dihitung adalah harga lama. Dan kebanyakan konsumen tidak mengecek bon pembeliannya, apakah harga potongan ada atau tidak.
Cara seperti ini adalah salah satu tindakan yang tidak jujur yang merugikan konsumen. Hal ini merupakan suatu penipuan yang dilakukan secara tidak jujur (curang), yang mensyaratkan pembuktian yang subjektif. Hal-hal semacam ini tidak berhubungan dengan persaingan antara pelaku usaha yang satu dengan pesaingnya.
Tentu saja akibat perbuatan yang tidak jujur tersebut mempunyai dampak kepada pelaku usaha pesaingnya, tetapi hal itu secara tidak langsung. Misalnya karena adanya iklan potongan harga tersebut, konsumen menjadi berlomba-lomba membeli minyak tersebut dan membeli barang kebutuhan yang lain. Karena konsumen sudah sekalian belanja di toko retail tersebut, akibatnya pesaingnya mengalami penurunan omset penjualan.
Tetapi akibat langsung dari tindakan tidak jujur tersebut adalah dialami langsung oleh konsumen, ditipu. Dan hal ini dapat dikenakan UU Konsumen atau pasal 382 bis KUHP dan pasal 1365 KUH Perdata. Menurut pasal 382 bis KUPHP istilah "persaingan usaha adalah persaingan yang dilakukan secara curang" dengan kata lain secara tidak jujur. Artinya, ini berkaitan dengan dengan "perbuatan penipuan".
Pelaku usaha atau seseorang yang melakukan perbuatan curang terhadap publik dalam menawarkan barangnya dapat dijatuhkan hukum penjara atau denda, kalau, pertama, terjadi satu perbuatan yang bersifat menipu. Kedua, karena perbuatannya menimbulkan kerugian bagi pesaingnya dan pembeli atau konsumen. Dalam kasus seperti ini, adanya kasus penipuan atau perbuatan curang haruslah terbukti.
Berdasarkan pasal 1365 KUH Perdata segala perbuatan yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang bersalah untuk mengganti kerugian yang diderita orang atau pelaku usaha tersebut. Jadi persaingan usaha tidak sehat yang dilakukan secara curang harus terbukti secara subjektif dan akibatnya merugikan konsumen secara langsung dan pelaku usaha secara tidak langsung.
Persaingan usaha tidak sehat
Tidak ada kesatuan pendapat di antara ahli hukum kartel mengenai definisi persaingan usaha yang sehat. Oleh karena itu, (mungkin) di dalam UU Antimonopoli ditetapkan definisi persaingan usaha tidak sehat. Definisi tersebut terlalu sempit, karena hanya menjangkau persaingan usaha antara pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan/atau jasa tertentu yang dilakukan secara tidak jujur atau melawan hukum saja.
Padahal secara sederhana, persaingan usaha tidak sehat terjadi pada pasar yang bersangkutan, apabila tindakan pelaku usaha tertentu menghambat terwujudnya persaingan usaha yang sehat. Jadi pasar menjadi terdistorsi, baik itu dalam proses produksi atau pemasaran barang, maupun hambatan masuk pasar bagi pelaku usaha (baru). Tindakan pelaku usaha yang mendistorsi pasar akibatnya nyata langsung dirasakan oleh pesaingnya maupun pendatang baru.
Oleh karena itu, perilaku pelaku usaha tersebut harus dilarang melalui peraturan perundang-undangan secara normatif untuk membatasi perilaku pelaku usaha melakukan persaingan usaha yang tidak sehat. Larangan ketentuan undang-undang adalah larangan melakukan tindakan tertentu secara imperatif. Larangan imperatif biasanya diikuti dengan kata-kata "dilarang atau tidak boleh".
Contoh ketentuan seperti ini banyak ditemukan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Jika pelaku usaha melanggar ketentuan-ketentuan KUHP langsung dijatuhi hukuman tertentu. Misalnya seorang mencuri barang milik orang lain, dan dijatuhi hukuman penjara tiga tahun.
Di dalam UU Antimonopoli, ada ketentuan yang menggunakan kata-kata "dilarang", tetapi tidak otomatis dijatuhkan hukuman, karena ada perbuatan melawan hukum yang dilakukan pelaku usaha yang bersifat rule of reason. Artinya, perlu penelitian lebih jauh, apakah tindakan pelaku usaha tertentu dapat mengakibatkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat pada pasar yang bersangkutan. Dan kalau tidak, ketentuan UU Antimonopoli tidak akan diterapkan, meskipun pelaku usaha tersebut nyata-nyata menjadi besar dan semakin kuat pada pasar yang bersangkutan.
Misalnya, dalam hal merjer, perusahaan A dengan perusahaan B melakukan merjer, dan sudah pasti tujuan merger tersebut untuk meningkatkan kemampuan perusahaan, baik kemampuan keuangan, meningkatkan pangsa pasar maupun meningkatkan sinerginya dan meningkatkan pelayanannya terhadap konsumen. Perusahaan hasil merjer tidak dapat dilarang, jika perusahaan hasil merjer tidak mengakibatkan praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat pada pasar yang bersangkutan.
Contoh lain, tiga pelaku usaha kecil membuat perjanjian oligopsoni, yaitu perjanjian pembelian suatu barang tertentu. Tanpa adanya perjanjian tersebut pelaku usaha kecil tersebut secara sendiri-sendiri tidak mampu membeli suatu barang tertentu dari produsen atau pemasok tertentu. Melalui perjanjian tersebut mereka mampu membeli sejumlah barang tertentu dari produsen atau pemasok tertentu lebih murah, karena mereka dapat membeli barang dalam jumlah besar.
Dengan demikian, ketiga pelaku usaha kecil tersebut dapat bersaing dalam menjual barangnya dengan pelaku usaha yang lebih besar. Perjanjian semacam ini tidak dikenakan pasal 13 ayat 1, karena tidak mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat pada pasar yang bersangkutan.
Memang ada juga ketentuan UU Antimonopoli yang bersifat per se. Artinya begitu pelaku usaha melanggar ketentuannya, langsung dilarang dan dikenakan sanksi. Misalnya, jika pelaku usaha yang satu dengan pelaku usaha yang lain melakukan perjanjian penetapan harga barang (price fixing), maka pelaku usaha tersebut langsung dikenakan pasal 5 ayat 1. Walaupun tidak terjadi persaingan usaha tidak sehat pada pasar yang bersangkutan, karena akibat perjanjian tersebut langsung dirasakan oleh konsumen atau pelanggan.
Jadi dari penjelasan di atas, terdapat perbedaan yang mendasar antara tindakan monopoli dengan perbuatan curang. Monopoli tidak hanya ada di negara Barat (Amerika) saja, tetapi juga di Indonesia. Praktek monopoli itu sendiri pada masa orde baru berlangsung merajalela. Oleh karena itu, timbullah pemikiran pada tahun 1989 bahwa Indonesia membutuhkan UU Antimonopoli.
Memang pada waktu itu pemikiran itu tidak mendapat dukungan dari pemerintah Orde Baru, karena merasa belum waktunya untuk mengatur masalah monopoli (konglomerat). Namun, para ilmuwan yang concern tehadap persaingan usaha di Indonesia tetap berupaya membuat rancangan undang-undang antimonopoli, seperti yang dibuat oleh Lembaga Penelitian dan Pengkajian PDI, RUU Antimonopoli yang dikeluarkan Departemen Keuangan yang diprakarsai oleh Normin Pakpahan, serta yang dibuat oleh Departemen Perindustrian bekerjasama dengan FH Universitas Indonesia.
Selain itu, masalah larangan monopoli sudah diatur di dalam pasal 7 UU No. 5/1984 tentang Perindustrian. Pasal 7 tersebut pada intinya memberikan instruksi kepada pemerintah untuk: (1) mewujudkan perkembangan industri yang lebih baik, secara sehat dan berhasil guna; (2) mengembangkan persaingan yang baik dan sehat serta mencegah persaingan yang tidak jujur; (3) mencegah pemusatan atau penguasaan inustri oleh satu kelompok atau perorangan dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat.
Hal ini menunjukkan bahwa masalah monopoli juga masalah yang dilarang di Indonesia dalam perundang-undangannya. Kalaupun dalam pembuatan UU Antimonopoli yang sekarang ada kelemahan-kelemahannya, ini adalah merupakan kelemahan legislatif pada masa itu. Namun, keinginan untuk memiliki UU Antimonopoli sudah lama diinginkan oleh masyarakat Indonesia.
Monopoli dan perbuatan curang adalah dua hal yang berbeda, walaupun ketentuan untuk mengaturnya sudah ada sejak dulu. Ketentuan ini tersebar di berbagai undang-undang yang dalam pelaksanaannya tidak efektif. Kehadiran UU Antimonopoli yang sekarang diharapkan dapat memberikan persaingan yang sehat, fair, dan kondusif, serta diimplementasikan secara efektif oleh KPPU sebagi lembaga pengawas persaingan usaha.
sumber : http://www.csis.or.id/Publications-OpinionsDetail.php?id=65

Hak Atas Kekeyaan Intelektual.


Hak Atas Kekayaan Intelektual merupakan hak yang diberikan kepada orang-orang atas hasil dari buah pikiran mereka. Biasanya hak eksklusif tersebut diberikan atas penggunaan dari hasil buah pikiran si pencipta dalam kurun waktu tertentu. HAKI adalah hak yang berasal dari hasil kegiatan kreatif suatu kemampuan daya pikir manusia yang diekspresikan kepada khalayak umum dalam berbagai bentuknya, yang memiliki manfaat serta berguna dalam menunjang kehidupan manusia, juga mempunyai nilai ekonomis.
Hak cipta diberikan kepada pencipta atas karya ciptanya, orang/kelompok/badan hukum yang menerima hak tersebut dari pemegangnya, atau orang/kelompok/badan hukum yang menerima hak cipta dari orang/kelompok/badan hukum yang diserahi hak cipta oleh pemegangnya. Hak kepemilikan didapatkan secara otomatis begitu seseorang menghasilkan karya cipta. Tidak ada keharusan untuk mendaftarkannya pada suatu badan pengelola HAKI. Akan tetapi hak cipta yang terdaftar akan sangat berguna untuk proses penyelesaian jika terjadi pelanggaran terhadap hak cipta tersebut. Hak cipta bukan melindungi suatu ide atau konsep, tetapi melindungi bagaimana ide atau konsep itu diekspresikan dan dikerjakan. Tidak diperlukan pengujian, tetapi karya harus original, dibuat sendiri, bukan copy dari sumber lain, dan penciptanya harus berkonstribusi tenaga dan keahlian.
Beberapa segi positif dari pendaftaran hak cipta antara lain :
a. pencipta/pemegang hak cipta memperoleh kepastian hukum setelah pendaftaran hak ciptanya disahkan oleh pejabat yang berwenang.
b. apabila terjadi sengketa tentang hak cipta, umumnya ciptaan yang telah didaftarkan berkedudukan hukum lebih kuat, fakta pembuktiannya lebih akurat.
c. pelimpahan hak cipta/pewarisan dan sebagainya lebih mudah dan mantap apabila telah terdaftar.
Terkait tentang Pengertian Hak Atas Kekayaan Intelektual :
Pengertian Dan Ruang Lingkup Hak Cipta
Menurut pasal 1 UU no 19 Th 2002 yang dimaksud dengan hak cipta adalah hak eklusif bagi pencipta atas pencipta ...
Pelanggaran Hak Cipta
Pada dasarnya, pelanggaran hak cipta terjadi apabila materi hak cipta tersebut digunakan tanpa izin dan harus ada kesamaan antara dua ...
Hak-hak Yang Terkandung Dalam Copy Right
Perlindungan hak cipta seharusnya diberikan kepada perwujudan karya dan bukan kepada ide, prosuder, metode pelaksanaan atau konsep sistematis sejenis, oleh ...
Obyek HAKI
Obyek HAKI ialah ciptaan, hasil buah pikiran, atau intelektualita manusia. Oleh sebab itu dinamakan Hak Atas Kekayaan Intelektual atau Intellectual ...
Kontekstualisasi Ekonomi Islam
SEORANG kawan menanggapi tulisan saya ”Membangun Budaya Berekonomi” di harian ini beberapa waktu lalu. Bagaimana kemungkinan berekonomi Islam untuk membangun ...

 sumber : http://zonaekis.com/pengertian-hak-atas-kekayaan-intelektual/

UU perlindungan konsumen.


Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, ada beberapa hal yang dipertimbangkan, antara lain :
·         Bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan  makmur yang merata materiil dan spiritual dalam era demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945
·         Bahwa pembangunan perekonomian nasional pada era globalisasi harus dapat mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka barang  dan/atau jasa yang memiliki kandungan teknologi yang dapat meningkatkan kesejahteraan  masyarakat banyak dan sekaligus mendapatkan kepastian atas barang dan/atau jasa yang  diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen
·         Bahwa semakin terbukanya pasar nasional sebagai akibat dari proses globalisasi ekonomi harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kepastian atas mutu, jumlah, dan keamanan barang dan/atau jasa yang diperolehnya di pasar
·         Bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab
·         Bahwa ketentuan hukum yang melindungi kepentingan konsumen di Indonesia belum memadai;
·         Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas diperlukan perangkat perundangundangan untuk mewujudkan keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga tercipta perekonomian yang sehat
·         Bahwa untuk itu perlu dibentuk Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen.

Ketentuan Umum dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen :
·         Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi kepada konsumen. 
·         Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. 
·         Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk  badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
·         Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.
·         Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.
·         Promosi adalah kegiatan pengenalan atau penyebarluasan informasi suatu barang dan/atau jasa untuk menarik minat beli konsumen terhadap barang dan/atau jasa yang akan dan sedang diperdagangkan.
·         Impor barang adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean. 
·         Impor jasa adalah kegiatan penyediaan jasa asing untuk digunakan di dalam wilayah  Republik Indonesia. 
·         Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah lembaga non-pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen.
·         Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
·         Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.
·         Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah badan yang dibentuk untuk membantu upaya pengembangan perlindungan konsumen. 
·         Menteri adalah menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang perdagangan. 


Jenis Perlindungan yang diberikan kepada Konsumen, yaitu :
§  Perlindungan Priventif
Perlindungan yang diberikan kepada konsumen pada saat konsumen tersebut akan membeli atau menggunakan atau memanfaatkan suatu barang dan atau jasa tertentu, mulai melakukan proses pemilihan serangkaian atau sejumlah barang dan atau jasa tersebut dan selanjutnya memutuskan untuk membeli atau menggunakan atau memanfaatkan barang dan jasa dengan spesifikasi tertentu dan merek tertentu tersebut.
§  Perlindungan Kuratif
Perlindungan yang diberikan kepada konsumen sebagai akibat dari penggunaan atau pemanfaatan barang atau jasa tertentu oleh konsumen. Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa konsumen belum tentu dan tidak perlu, serta tidak boleh dipersamakan dengan pembeli barang dan atau jasa, meskipun pada umumnya konsumen adalah mereka yang membeli suatu barang atau jasa. Dalam hal ini seseorang dikatakan konsumen, cukup jika orang tersebut adalah pengguna atau pemanfaat atau penikmat dari suatu barang atau jasa, tidak peduli ia mendapatkannya melalui pembelian atau pemberian.

Tujuan Perlindungan Konsumen
·         Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri
·         Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa
·         meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hakhaknya sebagai konsumen
·         Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi
·         Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha
·         Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.


Asas-asas dalam perlindungan konsumen yaitu :
·         Asas Manfaat.
Untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
·         Asas Keadilan.
Agar partisipasi seluruh masyarakat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
·         Asas Keseimbangan.
Untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materil atau pun spiritual.
·         Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen.
Untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan jasa yang digunakan.
·         Asas Kepastian Hukum.
Agar baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Sebelum terbentuknya undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini, telah ada beberapa undang-undang yang materinya lebih khusus dalam melindungi kepentingan konsumen dalam satu hal, seperti undang-undang yang mengatur mengenai hak-hak atas kekayaan intelektual yaitu tentang Paten, Merek dan Hak Cipta. Perlindungan konsumen dalam hal pelaku usaha melanggar hak atas kekayaan intelektual tidak diatur dalam undang-undang tentang Perlindungan Konsumen, karena hal itu sudah diatur dalam undang-undang yang khusus antara lain undang-undang tentang Paten dan Merek.
Undang-undang Perlindungan Konsumen merupakan aturan yang umum, oleh karenanya ada aturan yang khusus mengenai suatu hal misalnya undang-undang yang khusus mengatur tentang perbankan yang mencakup aturan tentang perlindungan konsumen bidang perbankan maka undang-undang perbankanlah yang digunakan.
Hak Konsumen :
·         Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa
·         Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan
·         Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa
·         Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan
·         Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut
·         Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen
·         Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif
·         Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya
·         Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Kewajiban Konsumen :
·         membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan
·         Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa
·         Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati
·         Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Kasus pelanggaran Hak Konsumen di Indonesia
            Sebagian besar masyarakat di Indonesia pasti pernah mengalami pelanggaran hak mereka sebagai konsumen, baik mereka mengkonsumsi barang ataupun jasa yang ada.
Salah satu masalah yang sering dialami oleh masyarakat Jakarta adalah alat transportasi, seperti bus, angkutan umum, kereta, busway, dll. Tidak sedikit bus-bus atau angkutan-angkutan yang tak layak pakai masih berkeliaran di seantreo Jakarta yang pada akhirnya membuat para penumpang tidak nyaman, tidak aman ketika mereka menggunakan jasa tersebut. Para supir yang ugal-ugalan dalam mengendarai kendaraan tersebut juga menimbulkan dampak yang serupa bagi penumpang. Belum lagi belakangan ini marak kabar adanya pemerkosaan bagi penumpang, hal tersebut menambah daftar hitam bagi pemilik jasa transportasi. Seharusnya pemerintah ikut serta dalam kasus ini,dengan perlu diadakannya inspeksi terhadap kendaraan-kendaraan yang layak pakai, dan kepemilikan SIM ataupun KTP yang jelas bagi supir kendaraan. Jika semua telah tercapai, mungkin masyarakat akan lebih nyaman menggunakan jasa transportasi ini.
Masalah yang jauh lebih penting adalah kepemilikan atas barang konsumsi yang tidak lebih dari masa expired atau kadaluarsa. Beberapa bulan yang lalu, kasus susu-susu kadaluarsa yang masih diperdagangkan di supermarket-supermarket besar di Ibukota. Pemerintah harus cepat bergerak akan adanya pedagang-pedagang nakal yang masih berkeliaran di Indonesia yang tentu saja dapat merampas hak konsumen dalam mengkonsumsi barang yang layak.
Masih ditemukan ikan yang mengandung formalin dan boraks, seperti kita ketahui bahwa kedua jenis cairan kimia ini sangat berbahaya jika dikontaminasikan dengan bahan makanan , dengan bahan makanan, ditambah lagi jika bahan makanan yang sudahterkontaminasi dengan formalin dan boraks tersebut dikonsumsi secara terus-menerus akibat ketidaktahuan konsumen maka kemungkinan besar yang terjadiadalah timbulnya sel-sel kanker yang pada akhirnya dapat memperpendek usiahidup atau menyebabkan kematian.

Sikap Konsumen
Sikap didefinisikan sebagai evaluasi menyeluruh, intensitas, dukungan dan kepercayaan adalah sifat yang penting dari sikap masing-masing sifat ini bergantung pada kualitas pengalaman konsumen sebelumnya dengan objek sikap. Sementara konsumen mengakumulasikan pengalaman baru sukap dapat berubah
            Perilaku Konsumen adalah suatu proses dan pembelian hanyalah satu tahap. Ada banyak pengaruh yang mendasari, berjajar dari motivasi internal hingga pengaruh social dari berbagai jenis. Perilaku ini sebagai tindakan yang langsung terlibat dalam mendapatkan, mengkonsumsi, dan menghabiskan produk dan jasa, termasuk proses keputusan yang mendahului dan menyuli tindakan ini.



Pendidikan untuk melindungi konsumen
            Melalui pendidikan, konsumen dapat diajarkan bagaimana mendeteksi adanya penipuan dan penyalahgunaan lain serta dibuat sadar akan obat yang ada dan peluang untuk memperbaiki. Begitu pula, siapa saja dapat mengambil manfaat dari wawasan yang lebih luas ke dalam strategi penghematan uang.
            Program pendidikan juga harus didasarkan pada penelitian terhadap motivasi dan perilaku bila program tersebut diharapkan relevan dengan dunia riil (nyata) konsumen.

sumber : http://dicilala.blogspot.com/2012/04/undang-undang-perlindungan-konsumen.html

Rencana kenaikan BBM dari sudut UU konsumen.


Keinginan pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) akan kembali terganjal. Baru saja, DPR menyetujui redaksional Pasal 7 ayat (6a) RUU APBP-P 2012 yang memberi kewenangan pemerintah untuk menaikkan BBM dengan persyaratan tertentu.

Kini, pasal itu diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh seorang warga negara bernama Adi Partogi Singal Simbolon. Melalui Serikat Pengacara Rakyat (SPR) sebagai kuasa hukumnya, Adi telah mendaftarkan permohonan pengujian Pasal 7 ayat (6a) UU APBN-P 2012 yang belum bernomor ini.

“Kita sudah mendaftarkan pengujian Pasal 7 ayat (6a) hari ini karena bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2), (3) UUD 1945,” kata juru bicara SPR, Habiburokhman di gedung MK, Senin (2/4).

Ketentuan Pasal 7 ayat (6a) UU APBN-P 2012 ini menyebutkan “Dalam hal harga rata-rata minyak Indonesia dalam kurun waktu enam bulan berjalan mengalami kenaikan atau penurunan rata-rata sebesar 15 persen dari harga minyak internasional yang diasumsikan dalam APBN Perubahan 2012, maka pemerintah berwenang untuk melakukan penyesuaian harga BBM”.

Habiburokhman mengatakan jika penentuan harga BBM mengacu pada Indonesian Crude Price (ICP) yakni harga rata-rata minyak mentah di beberapa negara,  sehingga harga BBM diserahkan mekanisme pasar minyak global. “Seharusnya penentuan harga BBM didasarkan pada nilai ongkos produksi BBM di Indonesia,” kata Habiburokhman.

Menurutnya, pengujian pasal ini sama halnya dengan pengujian Pasal 28 ayat (2), (3) UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas) yang telah ‘dibatalkan’ MK melalui putusan No 22/PUU-I/2003, pada 15 Desember 2004 silam. Lantaran, penentuan harga BBM (dalam negeri) menyerahkan kepada mekanisme harga pasar bebas.

“Kalau putusan itu lebih luas, redaksinya saja berbeda tetapi substansi sama. Karena itu, kita minta MK membatalkan Pasal 7 ayat (6a) RUU APBP-P 2012 ini karena bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2), (3) UUD 1945,” pintanya.

Dalam pengujian undang-undang ini, pemohon tidak banyak mengajukan bukti-bukti atau ahli karena persoalan konstitusionalitas normanya sudah jelas. “Bukti yang paling kuat kita lampirkan salinan putusan MK No 22/PUU-I/2003, fotocopy KTP, dan dokumen perkembangan dan penghitungan ICP yang dikeluarkan oleh Direktorat Penerimaan Negara Bukan Pajak Dirjen Kemenkeu, dan beberapa ahli,” jelas Habiburokhman.

Dia menambahkan meski undang-undang ini belum ditandatangani presiden tidak menghalangi untuk dimohonkan pengujian ke MK. Sebab, menurut Pasal 20 ayat (5) UUD 1945, UU APBN-P 2012 ini pasti akan sah dan mengikat sebagai undang-undang dalam waktu 30 hari sejak RUU disetujui, terlepas presiden mengesahkan atau tidak. “Dari segi redaksional, pasal ini tidak akan mungkin berubah,” imbuhnya.

Atas nama rakyat
Selain itu, mantan Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra mengatasnamakan sejumlah warga warga (pengguna BBM bersubsidi) yang menolak kenaikan harga BBM telah mendaftarkan permohonan pengujian pasal ini. Mereka memohon pengujian Pasal 7 ayat (6), (6a) UU APBN-P 2012 karena merasa dirugikan dengan berlakunya pasal itu.

“Kami, atas nama rakyat pengguna BBM bersubsidi mengajukan permohonan pengujian Pasal 7 ayat (6), (6a) UU APBN-P 2012 karena bertentangan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), Pasal 33 UUD 1945  sekaligus pengujian secara formil terhadap UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,” kata Yusril usai mendaftarkan permohonan ini di Gedung MK.

Yusril menilai Pasal 7 ayat (6), (6a) 
UU APBNP 2012 mengandung ketidakpastian hukum. “Kepentingan pemohon dirugikan dan berada dalam ketidakpastian hukum atas berlakunya pasal itu,” jelasnya.

Selain itu, pasal itu tidak memenuhi syarat formil pembentukan sebuah undang-undang sebagaimana diatur dalam 
UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangnya. Menurutnya, materi Pasal 7 ayat (6) UU APBN-P bertabrakan dengan pasal 7 ayat (6a) UU APBNP.

UU Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan menyebutkan norma undang-undang harus mengandung kejelasan rumusan, asas kepastian hukum, tidak bertabrakan satu sama lain. “Secara formil, Pasal 7 ayat (6) dan Pasal 7 ayat (6a) UU APBN-P bertabrakan satu sama lain dan Pasal 7 ayat (6a) mengandung ketidakpastian hukum,” jelas Yusril yang juga sempat menjabat Menteri Sekretaris Negara itu.

Meski BBM belum naik, lanjut Yusril, fakta di lapangan harga kebutuhan sudah naik, sehingga masyarakat bingung. Sementara program bantuan langsung tunai yang dianggarkan sebesar Rp150 ribu per bulan untuk satu keluarga belum direalisasikan, sehingga rakyat berada dalam ketidakpastian. “Jika suatu norma mengandung ketidakpastian berarti bertentangan dengan UU No 12 Tahun 2011 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.”

Ditambahkan Yusril, permohonan ini akan ditangani sejumlah advokat dan akademisi. “Jumlah pemohon akan terus bertambah dan sejumlah nama advokat dan akademisi akan menyusul mewakili rakyat kecil pengguna BBM bersubsidi, termasuk ibu-ibu rumah, tukang ojek, supir taksi, supir angkot, nelayan, tukang gorengan,” katanya.

Pendaftaran permohonan ini terakhir datang dari Ketua Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia (FISBI) M Komarudin yang diwakili Andi M Asrun. Menurut dia, kenaikan harga BBM telah merugikan kliennya karena telah mendongkrak ekspektasi kenaikan harga barang dan jasa. Kendati masih rencana, pedagang besar telah menaikan harga sekitar 15 persen dan ada rencana kenaikan ongkos transportasi sebesar 19,6 persen.

“Kenaikan harga BBM akan dijadikan pembenaran untuk menaikkan produk barang, memecat buruh sewenang-wenang. Akibat kenaikan harga BBM mendorong pertumbuhan angka pemecatan dari 44.600 pada tahun 2007 menjadi 633.719 pada tahun 2008,” bebernya.

Menurutnya, besaran kenaikan BBM haruslah tetap melalui kontrol DPR tidak bisa diserahkan pada mekanisme pasar. “Pasal 7 ayat (6) a UU APBN-P 2012 telah disharmonisasi dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 33 ayat (3), (4) UUD 1945,” jelasnya.

Menanggapi pendaftaran permohonan ini. Juru bicara MK M Akil Mochtar mengatakan akan menyidangkan permohonan pengujian UU APBN-P 2012 ini sesuai prosedur yang berlaku di MK. “Kami akan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua pemohon, pemerintah, DPR, atau pihak terkait dalam pengujian undang-undang ini,” kata Akil. 

sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f79982790d3c/hujan-gugatan-pasal-kenaikan-harga-bbm