INDONESIA merupakan negara
kaya. Baik kaya dari segi sumber daya, pulau, laut dan daratan yang sangat
luas, budaya, dan kekayaan lainnya. Tapi pernyataan ini bertolak belakang
dengan keadaan Indonesia saat ini. Jika dilihat dari kekayaan tersebut, sangat
tidak layak lagi jika masyarakat Indonesia masih banyak yang miskin. Kondisi
ini pun mungkin menjadi tanda tanya di benak banyak orang.
Dari segi angka, jumlah kemiskinan di Indonesia ini memang kadang naik dan kadang turun. Tetapi apakah kita tahu bahwa penurunan jumlah angka kemiskinan itu dikarenakan masyarakat yang miskin telah banyak yang meninggal dunia, baik karena kelaparan, penyakit, dan kekurangan gizi? Tak heran, jumlah angka kemiskinan di Indonesia memang menurun, tetapi jumlah angka kematian meningkat. Faktanya, kemiskinan di Indonesia tidaklah menurun, tetapi justru meningkat.
Kenyataan tersebut tampaknya tidak cukup menggugah jiwa nasionalisme pemerintah. Mereka telah dirasuki kapitalisme, sehingga tidak mempedulikan bagaimana keadaan masyarakatnya sendiri. Buktinya, pemerintah masih saja merencanakan kebijakan yang tidak pro-rakyat.
Per 1 April nanti, pemerintah menjadwalkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Sangat tidak pantas jika kebijakan itu dilanjutkan dengan menaikkan harga listrik pada bulan berikutnya. Apabila kebijakan ini tetap dilakukan, maka jumlah kemiskinan di Indonesia akan bertambah.
Pemerintah berdalih, kenaikan harga BBM hingga 33 persen adalah upaya efisiensi anggaran. Sangat tidak rasional jika pemerintah lebih berpikiran mengenai kepentingan pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan ketimbang untuk menyejahterakan masyarakatnya sendiri.
Jika falshback sejenak, kita bisa ingat kembali janji yang pernah disampaikan oleh pemerintahan SBY pada 2005. Ketika itu, SBY berjanji tidak akan
menaikkan harga BBM. Tetapi nyatanya, pemerintah tidak sekali saja menaikkan harga BBM.
Sejak SBY dilantik sebagai presiden pada Oktober 2004, pemerintahannya telah menaikkan harga BBM pada Maret 2005 (22-27 persen), dan Oktober 2005 (126 persen). Pada kenaikan harga kedua inilah pemerintahan SBY berjanji tidak akan menaikkan harga BBM lagi. Tetapi, janji tersebut luntur seiring rencana kenaikan harga BBM hingga 33 persen pada April mendatang.
Janji presiden pun sekarang mulai digugat. Sejumlah kalangan mencoba mengingatkan kembali publik soal itu dan semakin menambah keruh polemik kenaikan harga BBM. Apalagi, setiap kali pemerintah berencana menaikkan harga BBM, asumsi dan logika yang mereka sampaikan tetap sama. Alasan kenaikan selalu bersandar pada naiknya harga minyak dunia melebihi angka USD100 per barel dan peningkatan pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, sementara asumsi harga minyak di APBN 2011 berada pada angka USD80 per barel.
Janji harga BBM tidak lagi naik ternyata cuma pepesan kosong. Ini bukti bahwa sebenarnya pemerintah bekerja dengan tidak sungguh-sungguh, dan tidak punya perencanaan yang baik. Pemerintah juga belum menempatkan kepentingan masyarakat sebagai kepentingan terdepan, tetapi kepentingan kapitalislah yang mereka kedepankan. Ironisnya, masyarakat terlanjur berharap banyak kepada pemerintahan SBY untuk dapat mengurangi beban berat yang mereka pikul. Harapan tersebut pun diwujudkan dalam dukungan masyarakat secara politik terhadap pemerintahan SBY. Namun ternyata balasannya tidak seperti yang diharapkan. Pemerintah memilih untuk menjadi safety player dan kurang peduli dengan keadaan masyarakatnya.
Sangatlah wajar jika masyarakat Indonesia marah, kecewa atas kebijakan yang diambil oleh pemerintah dengan tidak berazaskan demokrasi dan rasa nasionalisme. Kekecewaan itu pun diwujudkan dengan melakukan demonstrasi di mana-mana untuk menolak kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM. Kegusaran publik atas kenaikan harga BBM terus meningkat karena ekspektasi tidak bertemu dengan kenyataan yang ada.
Mengapa kebijakan untuk melakukan program kerja pemerintah menjadikan masyarakat sebagai tumbal? Dengan menaikkan harga BBM apakah pemerintah yakin semua alasan bisa terjamin terealisasikan dengan benar? Kenaikan harga BBM ini hanya menjadikan penderitaan masyarakat Indonesia semakin parah. Naiknya harga BBM secara otomatis akan menaikkan harga semua kebutuhan masyarakat; padahal, pendapatan mereka tetap.
Seharusnya upaya pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan mengatasi APBN yang semakin meningkat, pemerintah bisa memanfaatkan sumber daya alam yang melimpah di negara ini. Selain itu, upaya peningkatan produksi minyak dalam negeri juga harus dilakukan. Jika kita lihat, baru 50 persen produksi minyak yang bisa diolah dalam negeri, sementara 35 persen lainnya diserahkan kepada kontraktor untuk membayar cost recovery pengolahan minyak di luar negeri, dan 15 persen produksi sisanya untuk bagi hasil dengan kontraktor. Untuk ke depannya, pemerintah harus melakukan kebijakan dengan mengolah semua minyak di kilang dalam negri. Dengan kata lain, pemerintah harus mengambil langkah untuk men-takeover 35 persen untuk membayar cost recovery. Apabila 85 persen produksi minyak dalam negeri diolah, maka itu sudah mencukupi kebutuhan BBM untuk dalam negeri dan membantu efisiensi anggaran.
Selain itu pemerintah perlu melakukan beberapa hal lainnya yaitu meningkatkan windfall profit tax atau pajak tambahan atas keuntungan perusahaan minyak akibat lonjakan harga minyak mentah dunia, memangkas alur perdagangan minyak dalam rangka ekspor-impor, dan menerapkan pajak tambahan kepada kendaraan roda empat pribadi atas penggunaannya terhadap BBM bersubsidi. Dengan hal itu masalah kenaikan harga minyak dunia akan teratasi dan APBN akan terealisasikan dengan baik.
Dari segi angka, jumlah kemiskinan di Indonesia ini memang kadang naik dan kadang turun. Tetapi apakah kita tahu bahwa penurunan jumlah angka kemiskinan itu dikarenakan masyarakat yang miskin telah banyak yang meninggal dunia, baik karena kelaparan, penyakit, dan kekurangan gizi? Tak heran, jumlah angka kemiskinan di Indonesia memang menurun, tetapi jumlah angka kematian meningkat. Faktanya, kemiskinan di Indonesia tidaklah menurun, tetapi justru meningkat.
Kenyataan tersebut tampaknya tidak cukup menggugah jiwa nasionalisme pemerintah. Mereka telah dirasuki kapitalisme, sehingga tidak mempedulikan bagaimana keadaan masyarakatnya sendiri. Buktinya, pemerintah masih saja merencanakan kebijakan yang tidak pro-rakyat.
Per 1 April nanti, pemerintah menjadwalkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Sangat tidak pantas jika kebijakan itu dilanjutkan dengan menaikkan harga listrik pada bulan berikutnya. Apabila kebijakan ini tetap dilakukan, maka jumlah kemiskinan di Indonesia akan bertambah.
Pemerintah berdalih, kenaikan harga BBM hingga 33 persen adalah upaya efisiensi anggaran. Sangat tidak rasional jika pemerintah lebih berpikiran mengenai kepentingan pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan ketimbang untuk menyejahterakan masyarakatnya sendiri.
Jika falshback sejenak, kita bisa ingat kembali janji yang pernah disampaikan oleh pemerintahan SBY pada 2005. Ketika itu, SBY berjanji tidak akan
menaikkan harga BBM. Tetapi nyatanya, pemerintah tidak sekali saja menaikkan harga BBM.
Sejak SBY dilantik sebagai presiden pada Oktober 2004, pemerintahannya telah menaikkan harga BBM pada Maret 2005 (22-27 persen), dan Oktober 2005 (126 persen). Pada kenaikan harga kedua inilah pemerintahan SBY berjanji tidak akan menaikkan harga BBM lagi. Tetapi, janji tersebut luntur seiring rencana kenaikan harga BBM hingga 33 persen pada April mendatang.
Janji presiden pun sekarang mulai digugat. Sejumlah kalangan mencoba mengingatkan kembali publik soal itu dan semakin menambah keruh polemik kenaikan harga BBM. Apalagi, setiap kali pemerintah berencana menaikkan harga BBM, asumsi dan logika yang mereka sampaikan tetap sama. Alasan kenaikan selalu bersandar pada naiknya harga minyak dunia melebihi angka USD100 per barel dan peningkatan pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, sementara asumsi harga minyak di APBN 2011 berada pada angka USD80 per barel.
Janji harga BBM tidak lagi naik ternyata cuma pepesan kosong. Ini bukti bahwa sebenarnya pemerintah bekerja dengan tidak sungguh-sungguh, dan tidak punya perencanaan yang baik. Pemerintah juga belum menempatkan kepentingan masyarakat sebagai kepentingan terdepan, tetapi kepentingan kapitalislah yang mereka kedepankan. Ironisnya, masyarakat terlanjur berharap banyak kepada pemerintahan SBY untuk dapat mengurangi beban berat yang mereka pikul. Harapan tersebut pun diwujudkan dalam dukungan masyarakat secara politik terhadap pemerintahan SBY. Namun ternyata balasannya tidak seperti yang diharapkan. Pemerintah memilih untuk menjadi safety player dan kurang peduli dengan keadaan masyarakatnya.
Sangatlah wajar jika masyarakat Indonesia marah, kecewa atas kebijakan yang diambil oleh pemerintah dengan tidak berazaskan demokrasi dan rasa nasionalisme. Kekecewaan itu pun diwujudkan dengan melakukan demonstrasi di mana-mana untuk menolak kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM. Kegusaran publik atas kenaikan harga BBM terus meningkat karena ekspektasi tidak bertemu dengan kenyataan yang ada.
Mengapa kebijakan untuk melakukan program kerja pemerintah menjadikan masyarakat sebagai tumbal? Dengan menaikkan harga BBM apakah pemerintah yakin semua alasan bisa terjamin terealisasikan dengan benar? Kenaikan harga BBM ini hanya menjadikan penderitaan masyarakat Indonesia semakin parah. Naiknya harga BBM secara otomatis akan menaikkan harga semua kebutuhan masyarakat; padahal, pendapatan mereka tetap.
Seharusnya upaya pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan mengatasi APBN yang semakin meningkat, pemerintah bisa memanfaatkan sumber daya alam yang melimpah di negara ini. Selain itu, upaya peningkatan produksi minyak dalam negeri juga harus dilakukan. Jika kita lihat, baru 50 persen produksi minyak yang bisa diolah dalam negeri, sementara 35 persen lainnya diserahkan kepada kontraktor untuk membayar cost recovery pengolahan minyak di luar negeri, dan 15 persen produksi sisanya untuk bagi hasil dengan kontraktor. Untuk ke depannya, pemerintah harus melakukan kebijakan dengan mengolah semua minyak di kilang dalam negri. Dengan kata lain, pemerintah harus mengambil langkah untuk men-takeover 35 persen untuk membayar cost recovery. Apabila 85 persen produksi minyak dalam negeri diolah, maka itu sudah mencukupi kebutuhan BBM untuk dalam negeri dan membantu efisiensi anggaran.
Selain itu pemerintah perlu melakukan beberapa hal lainnya yaitu meningkatkan windfall profit tax atau pajak tambahan atas keuntungan perusahaan minyak akibat lonjakan harga minyak mentah dunia, memangkas alur perdagangan minyak dalam rangka ekspor-impor, dan menerapkan pajak tambahan kepada kendaraan roda empat pribadi atas penggunaannya terhadap BBM bersubsidi. Dengan hal itu masalah kenaikan harga minyak dunia akan teratasi dan APBN akan terealisasikan dengan baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar