Praktek monopoli berbeda dengan perbuatan curang, dan keduanya dilakukan
oleh para pelaku usaha di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Hukumonline memuat berita berjudul "Akomodasi Asing, Proses
Legislasi Abaikan Kepentingan Bangsa Sendiri" (18
Juni 2003). Antara lain isi berita tersebut adalah menurut Romli Atmasasmita,
Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), "dalam riwayat perundang-undangan
di Indonesia, soal monopoli tidak pernah diatur, dan yang diatur adalah
mengenai perbuatan curang".
Dari pernyataan
tersebut, secara implisit dapat disimpulkan bahwa di Indonesia tidak ada
perbuatan monopoli yang ada adalah perbuatan curang. Menurut Romli lagi,
"monopoli berasal dari AS, dari common
law sistem. Di sini diterapkan oleh KPPU, ternyata tidak jalan,
malah ditertawakan," cetus Romli.
Menurut penulis,
kalaupun masih ada yang menertawakan itu adalah hal yang wajar. Dikatakan
wajar, karena orang yang bersangkutan masih belum memahami substansi UU No.
5/1999 tersebut secara benar. Memang, UU Antimonopoli berasal dari Amerika
Serikat.
Namun, praktek monopoli
secara alamiah dilakukan oleh para pelaku usaha di seluruh dunia, termasuk di
Indonesia. Tulisan ini akan menjelaskan perbedaan antara monopoli dengan
perbuatan curang. Dari penjelasan yang akan dipaparkan, akan dapat dilihat
bahwa perbuatan monopoli dan perbuatan curang, keduanya ada di Indonesia.
Monopoli
Di dalam pasal 1 angka 1
UU Antimonopoli, monopoli didefiniskan "suatu penguasaan atas produksi
dan/atau pemasaran barang dan/atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu
pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha". Dapat diartikan bahwa
monopoli ada jika satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai
suatu produksi atau pemasaran barang atau penggunaan jasa tertentu. Dengan kata
lain, monopoli ada jika hanya ada satu pelaku usaha yang memproduksi atau
menjual suatu barang tertentu pada pasar yang bersangkutan.
Monopoli sebenarnya
tidak dilarang sepanjang hal itu atas hasil usaha pelaku yang bersangkutan
secara fair.
Misalnya jika suatu pelaku usaha A menghasilkan (memproduksi) suatu produk baru
di pasar, otomatis pelaku usaha tersebut sebagai monopolis. Yang dilarang oleh
UU Antimonopoli adalah praktek monopoli yang mengakibatkan persaingan menjadi
tidak sehat pada pasar yang bersangkutan.
Misalnya, pelaku usaha B
ingin memproduksi barang seperti yang diproduksi pelaku usaha A, maka pelaku
usaha A tidak boleh melakukan hambatan (entry barrier) supaya pelaku
usaha B tidak dapat memproduksi barang yang sama tersebut. Selain itu, pelaku
usaha A ada kemungkinan bisa melakukan hambatan masuk pasar, seperti jika
pelaku usaha A mematenkan produk temuannya kepada dirjen paten dan pelaku usaha
A mempunyai hak monopoli (biasanya) selama 20 tahun. Dan setelah itu, setiap
orang boleh memproduksi barang yang sama. Itu pun harus mendapat lisensi dari
pemegang hak paten tersebut.
Dari penjelasan singkat
tersebut, kita sudah berbicara masalah hubungan antara pelaku usaha yang satu
dengan pelaku usaha yang lain pada pasar yang bersangkutan. Hubungan yang
normal di antara pelaku usaha, berperilaku secara wajar tidak melanggar
ketentuan undang-undang yang berlaku, maka terjadilah apa yang kita sebut
dengan persaingan usaha yang sehat. Memang, definisi persaingan usaha yang
sehat belum ada secara mutlak.
Di antara para ahli
hukum persaingan, juga tidak ada kesepakatan pendapat mengenai definisi
persaingan usaha yang sehat. Paraahli hukum persaingan mempunyai persepsi
masing-masing jika memberikan definisi hukum persaingan yang sehat. Tetapi jika
terjadi hubungan yang tidak wajar antara pelaku usaha yang satu dengan pelaku
usaha lain melalui perilaku usahanya, dan hal ini menjadikan pasar menjadi
terdistorsi, maka Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) harus memulihkan
pasar yang terdistorsi tersebut menjadi sehat.
Pasar yang terdistorsi
tersebut adalah suatu persaingan usaha tidak sehat. Oleh karena itu, di pasal 1
angka 6 dalam UU Antimonopoli didefinisikan persaingan usaha tidak sehat.
Menurut pasal 1 angka 6 tersebut, persaingan usaha tidak sehat adalah
persaingan antarpelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau
pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau
melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
Dari ketentuan pasal 1
angka 6 tersebut, dapat kita simpulkan bahwa di dalam pasal 1 angka 6 diatur
secara bersamaan masalah persaingan usaha tidak sehat yang dilakukan secara
tidak jujur (curang) dan melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
Sementara di dalam UU Antimonopoli itu sendiri tidak mengatur masalah
persaingan usaha yang tidak secara tidak jujur (curang). Dengan demikian, kita
akan membahas perbedaan antara persaingan usaha yang tidak sehat yang dilakukan
secara tidak jujur (curang) dengan melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
Perbuatan
curang
Perbuatan tidak jujur
(curang) adalah suatu tindakan penipuan subjektif yang dapat dilakukan oleh
setiap pelaku usaha dalam bentuk apa saja, mungkin dalam proses produksi suatu
barang atau bentuk yang lain. Misalnya, dalam proses produksi suatu makanan
disebutkan pada informasi komposisi makanan tersebut tertera tanpa bahan
pengawet atau tanpa zat pewarna ternyata memakai bahan pengawet dan zat
pewarna.
Contoh lain pelaku usaha
retail tidak memberikan informasi yang jujur dalam hal pemotongan harga. Pelaku
usaha tersebut membuat iklan super hemat dengan mengganti label harga
barang-barang tertentu dengan label yang baru. Misalnya pada label dua liter
minyak Bimoli yang sebetulnya harganya Rp8.750 ditulis Rp9.500 (seolah-olah
harga lama), dicoret, dan ditambahkan "harga baru" Rp8.750 untuk
memberi kesan seolah-olah ada potongan harga Rp750 dari harga lama. Iklan
semacam ini dibuat untuk mengecoh dan menarik konsumen untuk membeli minyak
tersebut.
Iklan tersebut dapat
menarik perhatian konsumen karena adanya potongan harga, yang sebenarnya tidak
ada sama sekali. Atau, secara tertulis ada iklan potongan harga sebesar Rp750.
Tetapi setelah dibayar di kasir, yang dihitung adalah harga lama. Dan
kebanyakan konsumen tidak mengecek bon pembeliannya, apakah harga potongan ada
atau tidak.
Cara seperti ini adalah
salah satu tindakan yang tidak jujur yang merugikan konsumen. Hal ini merupakan
suatu penipuan yang dilakukan secara tidak jujur (curang), yang mensyaratkan
pembuktian yang subjektif. Hal-hal semacam ini tidak berhubungan dengan
persaingan antara pelaku usaha yang satu dengan pesaingnya.
Tentu saja akibat
perbuatan yang tidak jujur tersebut mempunyai dampak kepada pelaku usaha
pesaingnya, tetapi hal itu secara tidak langsung. Misalnya karena adanya iklan
potongan harga tersebut, konsumen menjadi berlomba-lomba membeli minyak
tersebut dan membeli barang kebutuhan yang lain. Karena konsumen sudah sekalian
belanja di toko retail tersebut, akibatnya pesaingnya mengalami penurunan omset
penjualan.
Tetapi akibat langsung
dari tindakan tidak jujur tersebut adalah dialami langsung oleh konsumen, ditipu.
Dan hal ini dapat dikenakan UU Konsumen atau pasal 382 bis KUHP dan pasal 1365
KUH Perdata. Menurut pasal 382 bis KUPHP istilah "persaingan usaha adalah
persaingan yang dilakukan secara curang" dengan kata lain secara tidak
jujur. Artinya, ini berkaitan dengan dengan "perbuatan penipuan".
Pelaku usaha atau
seseorang yang melakukan perbuatan curang terhadap publik dalam menawarkan
barangnya dapat dijatuhkan hukum penjara atau denda, kalau, pertama, terjadi
satu perbuatan yang bersifat menipu. Kedua, karena perbuatannya menimbulkan
kerugian bagi pesaingnya dan pembeli atau konsumen. Dalam kasus seperti ini,
adanya kasus penipuan atau perbuatan curang haruslah terbukti.
Berdasarkan pasal 1365
KUH Perdata segala perbuatan yang membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang bersalah untuk mengganti kerugian yang diderita orang
atau pelaku usaha tersebut. Jadi persaingan usaha tidak sehat yang dilakukan
secara curang harus terbukti secara subjektif dan akibatnya merugikan konsumen
secara langsung dan pelaku usaha secara tidak langsung.
Persaingan
usaha tidak sehat
Tidak ada kesatuan
pendapat di antara ahli hukum kartel mengenai definisi persaingan usaha yang
sehat. Oleh karena itu, (mungkin) di dalam UU Antimonopoli ditetapkan definisi
persaingan usaha tidak sehat. Definisi tersebut terlalu sempit, karena hanya
menjangkau persaingan usaha antara pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan
produksi dan atau pemasaran barang dan/atau jasa tertentu yang dilakukan secara
tidak jujur atau melawan hukum saja.
Padahal secara
sederhana, persaingan usaha tidak sehat terjadi pada pasar yang bersangkutan,
apabila tindakan pelaku usaha tertentu menghambat terwujudnya persaingan usaha
yang sehat. Jadi pasar menjadi terdistorsi, baik itu dalam proses produksi atau
pemasaran barang, maupun hambatan masuk pasar bagi pelaku usaha (baru).
Tindakan pelaku usaha yang mendistorsi pasar akibatnya nyata langsung dirasakan
oleh pesaingnya maupun pendatang baru.
Oleh karena itu,
perilaku pelaku usaha tersebut harus dilarang melalui peraturan
perundang-undangan secara normatif untuk membatasi perilaku pelaku usaha
melakukan persaingan usaha yang tidak sehat. Larangan ketentuan undang-undang
adalah larangan melakukan tindakan tertentu secara imperatif. Larangan
imperatif biasanya diikuti dengan kata-kata "dilarang atau tidak
boleh".
Contoh ketentuan seperti
ini banyak ditemukan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Jika pelaku
usaha melanggar ketentuan-ketentuan KUHP langsung dijatuhi hukuman tertentu.
Misalnya seorang mencuri barang milik orang lain, dan dijatuhi hukuman penjara
tiga tahun.
Di dalam UU
Antimonopoli, ada ketentuan yang menggunakan kata-kata "dilarang",
tetapi tidak otomatis dijatuhkan hukuman, karena ada perbuatan melawan hukum
yang dilakukan pelaku usaha yang bersifat rule
of reason. Artinya, perlu penelitian lebih jauh, apakah tindakan
pelaku usaha tertentu dapat mengakibatkan praktik monopoli dan/atau persaingan
usaha tidak sehat pada pasar yang bersangkutan. Dan kalau tidak, ketentuan UU
Antimonopoli tidak akan diterapkan, meskipun pelaku usaha tersebut nyata-nyata
menjadi besar dan semakin kuat pada pasar yang bersangkutan.
Misalnya, dalam hal
merjer, perusahaan A dengan perusahaan B melakukan merjer, dan sudah pasti
tujuan merger tersebut untuk meningkatkan kemampuan perusahaan, baik kemampuan
keuangan, meningkatkan pangsa pasar maupun meningkatkan sinerginya dan
meningkatkan pelayanannya terhadap konsumen. Perusahaan hasil merjer tidak
dapat dilarang, jika perusahaan hasil merjer tidak mengakibatkan praktek monopoli
atau persaingan usaha tidak sehat pada pasar yang bersangkutan.
Contoh lain, tiga pelaku
usaha kecil membuat perjanjian oligopsoni, yaitu perjanjian pembelian suatu
barang tertentu. Tanpa adanya perjanjian tersebut pelaku usaha kecil tersebut
secara sendiri-sendiri tidak mampu membeli suatu barang tertentu dari produsen
atau pemasok tertentu. Melalui perjanjian tersebut mereka mampu membeli
sejumlah barang tertentu dari produsen atau pemasok tertentu lebih murah,
karena mereka dapat membeli barang dalam jumlah besar.
Dengan demikian, ketiga
pelaku usaha kecil tersebut dapat bersaing dalam menjual barangnya dengan
pelaku usaha yang lebih besar. Perjanjian semacam ini tidak dikenakan pasal 13
ayat 1, karena tidak mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat pada pasar yang bersangkutan.
Memang ada juga
ketentuan UU Antimonopoli yang bersifat per
se. Artinya begitu pelaku usaha melanggar ketentuannya,
langsung dilarang dan dikenakan sanksi. Misalnya, jika pelaku usaha yang satu
dengan pelaku usaha yang lain melakukan perjanjian penetapan harga barang (price
fixing), maka pelaku usaha tersebut langsung dikenakan pasal 5 ayat 1.
Walaupun tidak terjadi persaingan usaha tidak sehat pada pasar yang
bersangkutan, karena akibat perjanjian tersebut langsung dirasakan oleh
konsumen atau pelanggan.
Jadi dari penjelasan di
atas, terdapat perbedaan yang mendasar antara tindakan monopoli dengan
perbuatan curang. Monopoli tidak hanya ada di negara Barat (Amerika) saja,
tetapi juga di Indonesia. Praktek monopoli itu sendiri pada masa orde baru
berlangsung merajalela. Oleh karena itu, timbullah pemikiran pada tahun 1989
bahwa Indonesia membutuhkan UU Antimonopoli.
Memang pada waktu itu
pemikiran itu tidak mendapat dukungan dari pemerintah Orde Baru, karena merasa
belum waktunya untuk mengatur masalah monopoli (konglomerat). Namun, para
ilmuwan yang concern tehadap
persaingan usaha di Indonesia tetap berupaya membuat rancangan undang-undang
antimonopoli, seperti yang dibuat oleh Lembaga Penelitian dan Pengkajian PDI,
RUU Antimonopoli yang dikeluarkan Departemen Keuangan yang diprakarsai oleh
Normin Pakpahan, serta yang dibuat oleh Departemen Perindustrian bekerjasama
dengan FH Universitas Indonesia.
Selain itu, masalah
larangan monopoli sudah diatur di dalam pasal 7 UU No. 5/1984 tentang
Perindustrian. Pasal 7 tersebut pada intinya memberikan instruksi kepada
pemerintah untuk: (1) mewujudkan perkembangan industri yang lebih baik, secara
sehat dan berhasil guna; (2) mengembangkan persaingan yang baik dan sehat serta
mencegah persaingan yang tidak jujur; (3) mencegah pemusatan atau penguasaan
inustri oleh satu kelompok atau perorangan dalam bentuk monopoli yang merugikan
masyarakat.
Hal ini menunjukkan
bahwa masalah monopoli juga masalah yang dilarang di Indonesia dalam
perundang-undangannya. Kalaupun dalam pembuatan UU Antimonopoli yang sekarang
ada kelemahan-kelemahannya, ini adalah merupakan kelemahan legislatif pada masa
itu. Namun, keinginan untuk memiliki UU Antimonopoli sudah lama diinginkan oleh
masyarakat Indonesia.
Monopoli dan perbuatan
curang adalah dua hal yang berbeda, walaupun ketentuan untuk mengaturnya sudah
ada sejak dulu. Ketentuan ini tersebar di berbagai undang-undang yang dalam
pelaksanaannya tidak efektif. Kehadiran UU Antimonopoli yang sekarang
diharapkan dapat memberikan persaingan yang sehat, fair, dan kondusif, serta diimplementasikan secara efektif
oleh KPPU sebagi lembaga pengawas persaingan usaha.
sumber : http://www.csis.or.id/Publications-OpinionsDetail.php?id=65
Tidak ada komentar:
Posting Komentar